Sejarah haji umroh Indonesia. Perjalanan dari Indonesia menuju Arab Saudi kini memerlukan waktu sekitar 8 hingga 9 jam dengan menggunakan pesawat terbang.
Dahulu kala, jemaah haji Indonesia harus menempuh waktu berbulan-bulan dengan kapal laut untuk bisa sampai di Tanah Suci.
Ibadah haji di Indonesia sudah mulai dilakukan sejak abad ke-16. Saat itu banyak ulama Nusantara berlayar ke Asia Barat. Namun, tidak ada catatan resmi terkait siapa masyarakat Nusantara yang pertama melakukan ibadah haji.
Sejarah Haji Umroh Indonesia Sebelum Pemerintah Belanda
Beberapa sumber menyebutkan bahwa orang Melayu dan Jawa telah ada di sekitar pantai India sejak abad ke-12.
Ibnu Bathuthah juga mencatat keberadaan mereka di antara para pedagang di sekitar pantai Malabar pada tahun 1346 M.
Sebelum Belanda datang, perjalanan haji dari Nusantara ke Makkah biasanya dilakukan secara independen. Para jemaah haji menggunakan kapal-kapal lokal untuk berlayar melewati Selat Malaka, Aden, Colombo, dan Laut Merah.
Setelah bersandar di sekitar Aceh, Selat Malaka, dan Singapura, mereka menunggu kapal dagang menuju India, yang sering kali melakukan transaksi perdagangan.
Sebelum mencapai Jeddah, perjalanan melintasi Yaman melalui Laut Merah memakan waktu berbulan-bulan mengarungi lautan luas.
Baca juga: Spot Foto Umroh Wajib Capture: Mengabadikan Momen Istimewa di Tanah Suci
Sejarah Haji Umroh Indonesia Sejak Jaman Belanda
Ketika orang-orang Belanda mulai melakukan kolonisasi, pemerintah mulai membatasi jumlah jemaah haji dari Tanah Air yang ingin melakukan perjalanan ke Saudi Arabia.
Menurut penjelasan yang terdapat di laman resmi Kementerian Agama, pembatasan tersebut disebabkan oleh keterlibatan banyak jemaah haji dalam kegiatan perlawanan pada abad ke-19.
Langkah-langkah pengurangan jumlah jemaah haji dilaksanakan pada tahun 1825, 1827, 1831, dan 1859. Selain itu, setelah kembali ke Nusantara, kegiatan para jemaah haji juga dipantau oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan dengan tujuan utama untuk mencegah timbulnya gerakan perlawanan.
1. Awal Abad 17: Kepengurusan Izin Haji oleh Pemerintah Belanda
Penyelenggaraan haji di Indonesia pada masa kolonial merupakan sejarah yang kompleks, ditandai dengan berbagai konflik antara pemerintah kolonial dengan umat Islam.
Pada awal abad ke-17, ketika Belanda mulai menguasai wilayah Nusantara, mereka mulai memperhatikan pengaturan perjalanan haji.
Belanda melihat potensi finansial dan kontrol politik pada aktivitas ini.
Mereka kemudian mengambil alih pengorganisasian perjalanan haji, termasuk menerbitkan Resolusi Haji pada bulan Oktober 1825.
Mereka juga mengurus izin, transportasi, akomodasi, dan pengawasan para jemaah haji dengan alasan keamanan, pendapatan, serta pengaruh politik.
2. Ibadah Haji Dianggap Ancaman
Mereka memandang perjalanan haji sebagai potensi ancaman terhadap keberadaan kolonial di Indonesia.
Kepentingan politisnya mulai terasa saat Hindia Belanda menggantikan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Pemerintah Hindia Belanda khawatir bahwa para jamaah haji dapat memicu perlawanan rakyat terhadap kekuasaan kolonial.
Untuk mencegah hal tersebut, berbagai langkah diambil, termasuk pembatasan kuota dan peningkatan biaya haji melalui Ordonansi Haji tahun 1825.
Meskipun kebijakan menjadi sedikit lebih longgar pada tahun 1859, tetap ada beberapa pembatasan yang diberlakukan, termasuk penerapan “ujian haji” bagi para jamaah yang baru kembali dari Tanah Suci.
Baca juga: Kota Terkutuk Al Ula: Menyingkap Misteri Sejarah dan Keindahan Tersembunyi
3. Pajak Haji Naik
Pemerintah kolonial menjadikan perjalanan haji sebagai sumber pendapatan yang menggiurkan.
Mereka menerapkan pajak khusus pada jemaah haji sebesar 110 gulden dan memberikan sanksi apabila jemaah menolak melakukan pembayaran.
Selain itu, pemerintah kolonial juga melakukan upaya untuk mengontrol pelaksanaan perjalanan haji dan mengawasi para peziarah.
Mereka khawatir akan dampak Pan Islamisme yang saat itu gencar dikumandangkan Turki Utsmani sebagai pemikiran luas untuk menentang kolonialisme di tanah umat Islam, seperti Gerakan Padri di Minangkabau pada 1803 atau kelahiran Sarekat Islam tahun 1912.
4. Kurangnya Fasilitas Haji yang Tidak Sepadan dengan Biayanya
Meskipun begitu, pelaksanaan haji oleh pemerintah Belanda tidak selalu berjalan lancar. Para jamaah merasa bahwa fasilitas yang disediakan tidak sebanding dengan biaya yang mereka bayarkan.
Pada abad ke-19, pemerintah mulai menyediakan kapal tambahan untuk menangani jumlah jamaah haji yang semakin meningkat.
Menurut Yudi Latif dalam bukunya “Genealogi Inteligensia: Pengetahuan & Kekuasaan Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX” (2013:105), pembukaan Terusan Suez dan kemajuan teknologi kapal uap diyakini telah meningkatkan arus lalu lintas haji.
Namun demikian, banyak tokoh yang melakukan haji dan memilih untuk menetap di Makkah, Madinah, dan Hadramaut untuk mengejar ilmu.
Hal ini membuat pemerintah kolonial menjadi khawatir, karena pada kesempatan lain, jumlah jamaah yang kembali justru lebih banyak daripada yang berangkat, terutama setelah kembalinya mereka yang menuntut ilmu di daerah-daerah tersebut.
5. Pengorganisasian Haji Mulai Diambil PIhak Swasta
Pemerintah yang mengendalikan layanan haji kemudian menugaskan beberapa perusahaan swasta untuk mengatur keberangkatan dan kepulangan para jamaah haji, seperti Agen Biro Haji Herklots dan Firma Alsegoff.
Awalnya, kedua agen ini membantu pemerintah dalam mengelola lonjakan jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka terlibat dalam praktik penipuan di atas kapal, seperti membebankan biaya tambahan untuk akomodasi dan makanan.
Banyak jamaah haji yang akhirnya terpaksa menjual barang-barang pribadi mereka atau menjadi korban pemerasan oleh para penipu, sehingga uang mereka habis ketika tiba di Pelabuhan Singapura dan mereka gagal melanjutkan perjalanan ke Makkah. Akibatnya, mereka dikenal sebagai “Haji Singapura”.
Baca juga: Mengenal Jabal Rahmah: Menyaksikan Titik Bertemunya Adam dan Hawa
6. Ujian untuk Memperoleh Gelar Haji
Pada tahun 1859, mereka yang pulang dari tanah suci diwajibkan untuk menjalani ujian khusus sesuai dengan peraturan yang diumumkan oleh pemerintah melalui “Staatsblad voor Nederland Indie tahun 1859 No.42”.
Ujian ini mencakup pengetahuan tentang pengalaman berhaji serta pengetahuan tentang tempat-tempat di Makkah dan Madinah.
Mereka yang berhasil lulus akan diberi gelar haji dan mendapat pengakuan resmi dari bupati setempat.
Alasan Pemerintah Belanda Memberi Gelar Haji ke Orang Indonesia
Gelar haji memiliki arti penting dalam konteks kesalehan, otoritas politik, dan status sosial-budaya. Penggunaan gelar haji memainkan peran signifikan saat gerakan politik dan Islam semakin berkembang dan menghadapi pemerintah kolonial.
Pemerintah Belanda sering kali bingung karena setiap kali ada warga pribumi yang kembali dari tanah suci Mekkah, sering terjadi gejolak atau pemberontakan.
Sebagai upaya untuk mempermudah pengawasan, pada tahun 1916, pemerintah penjajah menerbitkan Ordonansi Haji, yang menyatakan bahwa setiap individu yang kembali dari haji diwajibkan menggunakan gelar haji.
Langkah ini bertujuan untuk memfasilitasi pengawasan dan kegiatan intelijen. Sejak tahun 1916, praktik ini telah diberlakukan, di mana setiap orang Indonesia yang kembali dari luar negeri secara otomatis diberi gelar haji.
Peran Snouck Hurgronje Memisahkan Antara Keagamaan dan Politik
Namun, menurut penelitian M. Dien Madjid dalam “Berhaji di Masa Kolonial” (2008), alasan di balik penerbitan ordonansi ini adalah karena terjadi banyak penyalahgunaan gelar haji dan sebagian jamaah yang tidak kembali ke tanah air setelah menunaikan ibadah haji.
Pemerintah kolonial menyatakan bahwa hal ini menyebabkan masalah sosial dan ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan.
Namun, Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Belanda, meragukan kesungguhan dan ketegasan pemerintah kolonial dalam keputusannya tersebut, setelah melakukan pengamatan di lapangan.
Pemahaman Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berubah drastis ketika Snouck Hurgronje datang sebagai penasihat.
Dia dikenal sebagai ahli dalam Islam politik dan pada tahun 1899, ditunjuk untuk memimpin Kantor untuk Urusan Pribumi, sebuah lembaga yang memberikan nasihat kepada Gubernur Jenderal, dengan fokus utama pada masalah Islam politik di Hindia Belanda.
Nasihat dari Snouck tentang Islam politik banyak mengubah arah kebijakan pemerintah kolonial sebelumnya.
Di masa lalu, pemerintah Belanda menganggap “Islam” sebagai satu kesatuan yang mencakup segala hal (baik politik, ritual, spiritual, dan budaya).
Namun, Snouck menyarankan untuk memisahkan hal tersebut. Menurut nasihatnya, pemerintah kolonial perlu mempertimbangkan tiga aspek terpisah dalam menangani masalah Islam: aspek keagamaan, politik, dan hukum Islam (syariat).
Snouck berpendapat bahwa karena ketiga aspek ini berbeda, maka pemerintah harus mengambil pendekatan yang berbeda pula.
Hal ini juga berlaku dalam konteks haji. Bagi Snouck, penanganan jamaah haji sebaiknya didasarkan pada analisis statistik, bukan politik.
Baca juga: Mengenal Kota Jeddah: Gerbang Menuju Tanah Suci dan 10 Destinasi Penuh Pesona
Biaya Haji Jaman Kolonial
Pada masa penjajahan Belanda, biaya haji sangat berbeda karena hanya mencakup perjalanan kapal dan biaya syekh.
Biaya total perjalanan dari Jawa ke Jeddah sekitar 95 Florin atau sekitar Rp23.568.650,4 dengan menggunakan kapal Nederlandsche Lloyd atau Rottterdamsche Lloyd, termasuk biaya syekh.
Selain itu, tiket kapal pergi-pulang langsung sekitar 150 Florin atau sekitar Rp37.316.379,7 tanpa biaya syekh.
Jamaah juga harus membayar upah syekh sekitar 17,50 Florin atau sekitar Rp4.353.585,76, sesuai dengan informasi dalam buku “Berhaji di Masa Kolonial” berdasarkan dokumen dari Arsip Nasional RI, Ged. CI. 2510/1896.
Biaya Haji Jaman Sekarang
Jaman sekarang, biaya haji di Indonesia saat ini mencakup semua aspek perjalanan, termasuk tiket pesawat, transportasi, makanan, penginapan, dan uang saku.
Dana haji juga didukung oleh tabungan yang dikumpulkan selama beberapa tahun sebelumnya.
Untuk tahun 2023, biaya haji telah ditetapkan sebesar Rp90.050.637,26 oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama dan DPR RI.
Dari jumlah tersebut, 55,3 persen atau Rp49.812.700,26 dibayarkan oleh jamaah, sementara sisanya, Rp40.237.937 atau 44,7 persen, ditanggung oleh dana haji yang dikelola oleh BPKH.
Biaya perjalanan haji tahun 2023 meliputi tiket pesawat (PP) sebesar Rp32,74 juta, biaya hidup sebesar Rp3,030 juta, dan paket layanan masyair sebesar Rp14,03 juta.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, perjalanan haji di masa kolonial Indonesia menunjukkan adanya berbagai kendala dan konflik antara praktik keagamaan lokal dengan kebijakan kolonial.
Gelar haji menjadi alat kontrol sosial yang digunakan pemerintah untuk mengawasi jamaah haji, mencerminkan ketegangan politik dan sosial pada masa tersebut.
Meskipun demikian, perjalanan haji tetap menjadi bagian penting dalam sejarah Indonesia, menyoroti dinamika antara agama, kekuasaan politik, dan identitas budaya.
Segera wujudkan impian Anda untuk melaksanakan Umrah di kota suci dengan layanan terbaik bersama Travel Umroh Rawda. Nikmati pengalaman ibadah yang berkesan dan nyaman.
Manfaatkan juga Promo Umrah Bandung eksklusif kami! Dapatkan fasilitas dan pelayanan terbaik dengan harga mulai dari 24,9 juta.
Buat Anda yang ingin menjelajahi keindahan destinasi wisata unggulan di Turki bisa dengan Promo Umrah Plus Turki Bandung. Temukan pengalaman perjalanan yang penuh makna dan berkesan bersama kami!